Senin, 13 Juni 2011

KOTO ANAU: NAGARI ADIK DI KUBUANG TIGO BALEH

Oleh : Witrianto.Dt. Bandaro
Dosen Fakultas Sastra, Universitas Andalas
Dikutip dari : Urang Awak Koto Anau ( Wery Hilsa Sikoembank )

Nagari Koto Anau merupakan bagian dari konfederasi Kubuang Tigo Baleh yang secara adat disebut sebagai “Nagari Adik”. Asal-usul nama Nagari Koto Anau berasal dari kata koto anam yang berarti enam buah koto (kampung) yaitu “Anam Koto di Dalam” dalam wilayah Kerajaan Koto Anau masa lalu yang meliputi Tanah Sirah, Koto Gadang, Batu Banyak, Koto Laweh, Limau Lunggo, dan Batu Bajanjang. Dalam perkembangan sejarahnya, setelah Kerajaan Koto Anau tidak eksis lagi, Batu Banyak, Koto Laweh, Limau Lunggo, dan Batu Bajanjang kemudian memisahkan diri dan membentuk nagari sendiri. Hanya Tanah Sirah dan Koto Gadang yang masih bertahan dan tetap menggunakan nama Koto Anau untuk menyebut nama nagarinya. Nama Nagari Koto Anau kadang-kadang juga disebut Koto Gadang karena pusat nagarinya berada di Koto Gadang
Asal-usul nama nagari koto Anau menurut versi lain berasal dari nama batang enau (aren) yang dahulu terdapat di tengah koto. Pohon itu besar dan dapat dijadikan sebagai tempat berlindung bagi masyarakat koto yang enam. Pohon tersebut dari akar sampai daunnya dapat dipergunakan, sehingga orang Koto Gadang mengambil nama pohon ini untuk menamai nama gabungan dari enam koto tersebut.
Nagari Koto Anau terletak di daerah Kubuang Tigo Baleh yang setelah Indonesia merdeka merupakan bagian dari Kabupaten Solok. Bekas wilayah Kerajaan Koto Anau kemudian disebut Kecamatan Lembang Jaya yang wilayahnya di samping meliputi “Anam Koto di Dalam” juga mencakup “Ampek Koto Kapak Redai” yang merupakan bekas Kerajaan Camin Taruih dan Kerajaan Camin Talayang yang kemudian menjadi wilayah Gunung Selasih IV-Koto yang meliputi Bukik Sileh, Salayo Tanang, Kampung Batu Dalam, dan Simpang Tanjung Nan Ampek. Nagari Simpang Tanjung Nan Ampek dan Kampung Batu Dalam pada tahun 2002 memisahkan diri dari Kecamatan Lembang Jaya dan membentuk Kecamatan Danau Kembar.
Menurut Abdurrahman, seorang pemangku adat di Koto Anau, penduduk Koto Anau yang mula-mula berasal dari daerah Kerajan Melayu. Pimpinan rombongannya adalah Rajo Kaciak. Rombongan ini kemudian bertemu dengan rombongan yang datang dari Pariangan melalui Guguk. Tidak dapat diketahui waktu yang tepat mengenai kedatangan penduduk yang pertama di Koto Anau.
Dalam konfederasi Kubuang Tigo Baleh, Koto Anau dikenal sebagai “adik”, Guguak sebagai “kakak”, Solok sebagai “mande” (ibu), dan Selayo sebagai “bapak” (sumando). Sebagai ‘mande” Solok memiliki sembilan suku dan sembilan korong, Selayo sebagai ‘bapak” memiliki tiga belas suku dan tiga belas jorong, Guguk sebagai “kakak” memiliki enam suku dan tiga koto, dan Koto Anau sebagai “adik” memiliki tiga suku dan enam koto.
Menurut tradisi lisan yang disampaikan secara turun temurun di Koto Anau, diriwayatkan bahwa rombongan kakak yang datang dari Guguak mengantar rombongan adik untuk mencari daerah tempat pemukiman baru. Dalam perjalanan, mereka beristirahat di sebuah guguak (bukit kecil) untuk berunding mencari kata mufakat. Tempat tersebut kemudian dinamakan “Guguak Bayua” yang berarti guguak tampek baiyo (bukit kecil tempat bermusyawarah), yang terletak Jorong Kandang Jambu sekarang.
Setelah bermusyawarah, rombongan tersebut kemudian meneruskan perjalanan mereka sampai ke daerah yang sekarang bernama “Panta” yang maksudnya tempat mengantarkan rombongan adik. Kemudian dibuatlah pemukiman di Bancah dan Taratak Panai. Rombongan kakak yang datang dari Guguak kemudian kembali ke Guguak.
Setelah penduduk Bancah semakin banyak, disepakatilah untuk memcari daerah baru karena tanah pertanian sudah semakin sempit. Tempat yang dituju adalah daerah yangs ekarang bernama Koto Tingga dan Pakan Kamih. Dari sini pemukiman kemudian meluas ke Tanah Sirah yang disertai dengan pembukaan tanah baru untuk areal perladangan dan persawahan.
Bersamaan dengan itu, beberapa kepala kaum menuju ke daerah Ului. Sebagian di antaranya juga turun ke Bingkuang, langsung ke Pintu Raya, mendaki ke Batu Banyak, dan terus ke Simpang Tanjung Nan Ampek. Beberapa kepala kaum ada juga yang menyebar ke arah Sungai Janiah. Dari sini muncul ungkapan, Koto Nan Anam, Tanah Sirah, Sungainyo Janiah, Limau Lunggo Bajanjang Batu.
Di Nagari Koto Anau hanya terdapat tiga suku, yaitu Melayu, Caniago, dan Tanjuang. Suku Melayu terdiri dari lima korong, yaitu Melayu, Bendang, Madailiang, Panai, dam Sikuaji. Suku Caniago terdiri dari empat korong, yaitu Caniago Korong Laweh, Caniago Sungai Dareh, Caniago Taruk Marunggai, dan Caniago Hilia (Supanjang). Suku Tanjuang terdiri dari empat korong, yaitu Tanjuang, Sikumbang, Payobada, dan Kutianyia.
Ciri khas di Nagari Koto Anau sehubungan dengan pendirian rumah gadang adalah rumah tersebut harus menghadap ke Gunung Talang yang melambangkan bahwa Gunung Talang merupakan tempat yang dihormati oleh masyarakat Koto Anau. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat pra-Islam yang menganggap bahwa puncak gunung merupakan tempat bersemayamnya dewa-dewi, sebagaimana Gunung Merapi yang sangat dihormati oleh masyarakat Luhak Tanah Datar.
Hampir semua rumah di Koto Anau memiliki atau dilalui oleh saluran air atau banda. Air ini terutama digunakan untuk mencuci dan berwudhu. Untuk mandi, sebelum memiliki kamar mandi masyarakat biasanya mandi di pincuran yang terdapat di semua surau yang ada di Koto Anau. Untuk memasak, sebelum masyarakat menggunakan air bersih dari mata air yang banyak terdapat di Nagari Koto Anau.
Di tengah-tengah Nagari Koto Anau mengalir Sungai Batang Lembang yang berhulu di Danau Dibawah dan bermuara di Danau Singkarak. Pada tahun 1978, aliran Sungai Batang Lembang yang cukup deras ini dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sebelumnya masyarakat Koto Anau juga telah mengenal listrik, yang digerakkan diesel yang dibeli dengan swadaya masyarakat. Listrik tersebut aktif tahun 1956 sampai tahun 1968.
Nagari Koto Anau memiliki luas wilayah 48 Km2 yang terdiri dari areal persawahan 1.300 Ha, tegalan/ladang 1.550 Ha, perumahan 800 Ha, dan lain-lainnya 1.550 Ha. Berdasarkan letak geografisnya, Nagari Koto Anau sebelah utara berbatasan dengan Nagari Muara Panas (Kecamatan Bukit Sundi), sebelah selatan dengan Nagari Batu Banyak dan Limau Lunggo, sebelah barat dengan Nagari Cupak (Kec. Gunung Talang) dan Sungai Janiah (Kec. Gunung Talang), sebelah timur berbatasan dengan Nagari Parambahan (Kec. Bukit Sundi).
Koto Anau dalam arti adat lama adalah suatu daerah yang wilayahnya meliputi Kecamatan Lembang Jaya dan Danau Kembar sekarang ditambah Sungai Janiah (sekarang bagian dari Kecamatan Gunung Talang). Daerah ini sebelumnya bernama Salasiah Anam Koto, gunungnya bernama Gunung Salasiah (sekarang Gunung Talang), dan di balik Gunung Salasiah terdapat Lubuak Salasiah.
Salasiah Anam Koto kemudian berubah nama menjadi Koto Nan Anam dan dalam perkembangan selanjutnya disebut Koto Anau. Sebelum tahun 1970-an, Koto Anau merupakan penghasil cengkeh yang terbesar di Minangkabau. Hasil bumi ini menyebabkan masyarakat Koto Anau hidup makmur dan berkecukupan sehingga dapat dikatakan merupakan nagari terkaya di Minangkabau pada waktu itu. Kekayaan Koto Anau ini menyebabkan banyak warga dari nagari-nagari di sekitarnya berdatangan ke Koto Anau untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Penyakit “Mati Bujang” dan “Mati Gadis” yang menyerang tanaman cengkeh di Koto Anau pada tahun 1970-an menyebabkan tanaman cengkeh banyak yang mati. Hal ini menyebabkan banyak orang Koto Anau yang kehilangan mata pencaharian sehingga banyak orang Koto Anau yang kemudian pergi merantau ke beberapa kota di Sumatera Barat dan di luar Sumatera Barat. Nagari Koto Anau yang pernah jaya dan menjadi nagari terkaya di Minangkabau pada masa lalu berkat cengkeh, sekarang tidak banyak lagi dikenal orang.
Sebagian besar perantau asal Koto Anau ini kemudian memilih profesi sebagai pedagang daging, terutama di Kota Solok, dan Padang. Profesi mereka ini menyebabkan orang Koto Anau di beberapa daerah di Sumatera Barat kemudian dikenal sebagai “tukang bantai” yang maksudnya tentu saja hanya untuk berolok-olok dan bercanda saja.
Generasi muda Sumatera Barat sekarang ini lebih mengenal Koto Anau sebagai nagari asal para pedagang daging yang banyak terdapat di berbagai kota di Sumatera Barat. Pasar Koto Anau yang dahulu merupakan gudang cengkeh terbesar dan sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah di Sumatera Barat, sekarang sudah tidak ada lagi. Bekas pasar tersebut sekarang telah menjadi lokasi gedung SMA Negeri 1 Lembang Jaya.